Tangerang - Paradigma hukum pidana modern, yang dianut oleh Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak lagi meletakkan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. KUHP baru ini mengutamakan keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, saat menjadi pembicara kunci dalam Webinar Sosialisasi UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP di Auditorium Prof. Muladi, Politeknik Pengayoman Indonesia, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum, menjelaskan poin demi poin dari ketiga jenis keadilan ini.
Pertama adalah keadilan korektif, yang ditujukan kepada pelaku. Ketika si pelaku berbuat salah, maka ada hal yang harus dikoreksi. Lalu bagaimana cara koreksinya?
“Dia mendapatkan sanksi. Sanksi di dalam KUHP baru kita itu, jangan dibayangkan harus sanksi pidana, tapi sanksi itu ada dua, yang pertama adalah pidana dan yang kedua adalah tindakan,” kata pria yang akrab disapa Eddy ini.
Berikutnya adalah keadilan restoratif, yang ditujukan kepada korban. Eddy mengemukakan, dari sisi pengetahuan, keadilan restoratif itu masih tergolong ilmu yang baru. Baru dikemukakan oleh Albert Eglash tahun 1977 sebagai kritik terhadap pengadilan konvensional yang mengutamakan keadilan retributif, yaitu menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam.
“Albert Eglash ini mengemukakan apa yang disebut dengan istilah restorative justice atau pemulihan keadilan. Ini kritik terhadap hukum pidana. Mengapa hukum pidana dikritik? Hukum pidana itu, dia 'tutup mata' dengan korban, yang dia lakukan adalah menghukum pelaku seberat-beratnya. Dia tidak mau tahu, apakah korban pemerkosaan itu mengalami depresi, gila, gangguan jiwa, dan lain sebagainya. Dia tidak mau tahu,” urainya, Kamis (30/01/2025) siang.
Lalu, kalau keadilan korektif itu ‘punyanya pelaku’ dan keadilan restoratif itu ‘punyanya korban’, maka visi yang ketiga yakni keadilan rehabilitatif itu ‘punyanya pelaku dan korban’. Pelaku itu tidak hanya dikoreksi, dihukum, tapi juga diperbaiki. Demikian juga dengan korban, tidak hanya dipulihkan tetapi juga diperbaiki.
“Inilah paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi pada keadilan retributif, tapi keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Itu adalah visi KUHP nasional,” ucap wakil dari Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas ini.
Sebelumnya, Kepala BPSDM Hukum Kementerian Hukum, Gusti Ayu Putu Suwardani menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya strategis BPSDM Hukum dalam menyosialisasikan perubahan mendasar dalam sistem hukum pidana Indonesia, serta memperkuat kompetensi sumber daya manusia (SDM) di bidang hukum.
“Sosialisasi ini merupakan implementasi dari Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden dalam penguatan SDM dan reformasi hukum, demi mewujudkan masyarakat yang taat dan sadar hukum, serta memperkuat pembangunan SDM melalui pemahaman yang lebih baik terhadap hukum pidana,” ujar Ayu dalam sambutannya. (TTK, foto: Humas BPSDMH)